JAKARTA, ASPEKTI- Berikut ini merupakan curahan hati Muhammad Elvandi, seorang policy analyst jebolan Manchester University, Inggris, kelahiran Bandung 1986. Ia mencurahkan uneg-unegnya di website pribadinya; http://elvandi.com/.
Cukup panjang tulisan penulis novel "Syair Cinta Pejuang Damaskus" (2006) ini yang didasari oleh keresahannya atas gap yang menganga antara tantangan dakwah umat Islam dengan kapasitas generasi muda muslim untuk mengeksekusi cita-cita Al Qur’an dan janjinya pada kemanusiaan.
Meski demikian, tulisan sepanjang 11 bagian dengan judul utama "Narasi Global Umat" ini mendapat pujian dari para pembacanya karena ditulis secara konferehensif dan mendalam, sehingga tak hanya menambah wawasan, namun juga melahirkan pemikiran-pemikiran baru tentang bagaimana umat Islam hendaknya berbuat agar kembali mendapat kejayaan seperti di masa lalu.
Tentu, peran teknologi tersinggung dalam tulisan ini, karena teknologi, khususnya media sosial, ikut mengubah perjalanan sejarah Islam di dunia, termasuk dalam kasus terjadinya "Arab Spring".
Selamat membaca, semoga bermanfaat bagi Anda.
Narasi Global Umat – Part 2
TANTANGAN ZAMAN DAN NARASINYA
“Innallah ba’atsa fi kulli ra’si miati sanah man yujaddidu laha dinaha”, “sesungguhnya Allah mengutus di setiap penghujung abad, pembaharu yang akan memperbaharui agama” hadist tersebut sangat memotivasi akal-akal besar umat Islam untuk selalu menjawab tantangan zamannya seperti Imam Syafi’i dengan ar-Risalahnya yang dianggap sebagai pembaharu pertama di abad kedua Hijri dengan kodofikasi ushul fiqhnya.
Tapi para ulama mengatakan bahwa hadist tersebut tidak selalu terpersonifikasi pada diri satu orang, karena ia bisa jadi sebuah kelompok atau entitas.
Terlepas dari itu semua, sebuah narasi selalu dibutuhkan di setiap zaman, dan nyatanya selalu segelintir orang yang membawanya, jika bukan satu orang. Seorang pembaharu membuka mata dan hatinya atas semangat zaman dan problem kemanusiaan lalu ia merenung panjang dengan kelengkapan tools dan pengetahuannya hingga datang dengan sebuah gagasan besar untuk menyelamatkan umat dari kelesuan pemikiran, budaya, pengetahuan ataupun jihad.
Akhir abad 19 adalah masa terkikisnya daulah Ustmaniyyah secara sistematis dengan berbagai demonstrasi dan gerakan separatis menuntut kemerdekaan. Dari sana pulalah cikal bakal perasaan saling benci antara bangsa Turki dan Arab, yang hingga hari ini sering terus dibakar oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Rifa’ah Tahthawi (1873) termasuk pionir muslim yang membuka wacana tentang politik di era modern, itupun karena ia terpesona dengan tulisan-tulisan Montesqieu dan Rosseau saat di Paris. Hingga ia begitu terkagum-kagum dengan buku-buku disana, salah satu yang terpenting adalah “Principes du droit de la nature et des gens” karya De Wolff.
Tidak ada formulasi signifikan tentang narasi peradaban Islam darinya karena karya-karyanya ibarat versi arab dari pemikiran barat. Namun ide penting yang dibawa ke negeri-negeri muslim adalah tentang urgensi pemisahan kekuasaan trias politica Montesquieu. Ide itu terasa aneh karena sistem yang berlaku di Daulah Ustmaniyyah, ataupun imperium sebelumnya Abbasiyyah dan Umawiyyah adalah monarki, yang kita namakan Khilafah. Walau begitu, Rifa’ah Thahthawi tidak memberikan penjabaran untuk ide itu, apalagi mekanisme penerapannya.
Khairuddin at-Tunisi (1899) adalah pemikir besar kedua di era kelesuan intelektual daulah Ustmaniyyah. Buku fenomenalnya adalah Aqqamul Masalik fi Ma’rifati Ahwal Mamalik, yang menekankan urgensi mencontoh keadilan dalam sistem institusi politik barat. Ide besarnya adalah ingin memperjuangkan kebebasan warga sipil untuk berekspresi dan beropini. Karena baginya, kebebasan itu adalah syarat mutlak untuk kebebasan politik dan kesejahteraan negeri.
Ironisnya, kebebasan warga sipil dalam bersikap pada dasarnya adalah nilai luhur Qur’ani yang sejak zaman Rasulullah dinikmati para sahabat yang sangat merdeka dalam berfikir. Justru disanalah esensi dari tauhid. Tapi Khairuddin at-Tunisi sampai membutuhkan sebuah impor gagasan dari para pemikir politik barat karena terlalu lama nilai ini hilang di negeri-negeri muslim saat itu.
Agenda besar yang ia perjuangkan adalah meyakinkan para ulama akan prinsip kebebasan ini. Namun, kembali, ia tidak mempunyai stok perangkat yang cukup untuk menjabarkan gagasan tersebut di negeri-negeri muslim melainkan meniru habis-habisan gaya barat dalam politik.
Jamaluddin al-Afghani (1887) melihat zaman dengan situasi lain. Ia tidak silau dengan barat. Walaupun ia lama menetap di Paris, London, Jerman, Moscow, ia tetap mempunyai ketegasan dalam batas-batas nilai yang perlu dia adopsi bagi negeri muslim.
Baginya penjajahan adalah induk semua kemunduran umat Islam sehingga narasi yang ia bawa adalah persatuan umat Islam dan perlawanan terhadap penjajah dengan Pan Islamisme. Gagasan-gagasan tersebut ia terbitkan bersama Muhammad Abduh melalui Majalah berbahasa arab Urwah al-Wustqo di Paris. Narasi perlawanan yang dibawanya mengispirasi banyak tokoh nasionalis Arab yang berjuang di region masing-masing. Namun gagasan perlawanan itu sendiri tidak mempunyai bentuk global yang jelas, apakah perlawanan itu satu kordinasi? Atau inisiasi dari siapapun yang terispirasi idenya? Jalan hidupnya yang nomaden di berbagai negeri dengan berbagai intimidasi, konspirasi sistematis dan berbagai pengkhinatan, adalah salah satu faktor terpenting yang memuat dia tidak bisa fokus membangun sebuah gerakan di suatu negara dalam waktu yang lama.
Muhammad Abduh (1905) mungkin merupakan prestasi terbesar Jamaluddin al-Afghani. Ia mengikuti setiap langkah pembaharuan gurunya namun ia menambahkan satu poin penting yang tidak ia dapati dari al-Afghani, yaitu pendidikan. Keterbelakangan negeri-negeri muslim dan kemajuan intelektual negeri Eropa yang mengantarkannya pada kesimpulan ini. Bersama muridnya Rasyid Ridha, ia menerbitkan majalah al-Manar. Pengetahuan adalah core narration yang ia yakini bisa menyelamatkan umat dari keterpurukannya.
Hasan al-Banna (1949) adalah anak pemikiran dari para pemikir diatas. Namun ada kenyataan pahit yang ia lihat, yang tidak dilihat para pendahulunya. Yaitu runtuhnya kekhilafahan. Oleh karena itu krisis ketiadaan institusi, ketiadaan kekuatan pemersatu, mempengaruhi gagasannya akan pentingnya institusi global yang ia masukan dalam salah satu maratib amal-nya (tahapan kerja) yaitu mengembalikan institusi khilafah. Tapi narasi yang ia bawa tidak bisa reduksi menjadi sekedar menegakan khilafah. Karena ia menawarkan sebuah proyek sosial yang komprehensif.
Proyek sosial itu muncul dari kesadarannya bahwa semua gagasan yang dibawa pendahulunya tentang pembaharuan ditantang realitas yang keras, bahwa tidak ada yang mengusung ide-ide itu atau bahkan ide-ide itu segera kandas di awal kemunculannya oleh musuh-musuhnya. Maka narasi yang ia bawa adalah pergerakan dalam wadah yang bernama jama’ah Ikhwanul Muslimun.
Kali ini pembaharuan yang dibawa Hasan al-Banna mendapatkan perhatian global yang sangat serius lebih dari para pembaharu sebelumnya. Karena Mesir menempati geopolitik yang terlalu penting di region tersebut. Dan Hasan al-Banna membangun kekuatan real dengan IM di kawasan tersebut. Kekuatan yang berupa rijal (manusia-generasi) bukan buku, majalah ataupun seruan-seruan.
Kekhawatiran negeri-negeri (penguasa) barat pada IM terkhusus karena ia menyentuh tiga domain krusial mereka sekaligus.
Pertama, yaitu perlawanan terhadap penjajah Inggeris di Mesir, juga seruan perlawanan global terhadap penjajahan. Termasuk Indonesia yang mendapatkan berkah jasa mereka dengan desakan IM terhadap pemerintah Mesir sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Kedua, IM mempunyai sikap tegas terhadap penjajahan Israel terhadap Palestina. Dan ketiga, IM membangun cikal bakal independensi ekonomi bagi masyarakat Mesir.
Ketiga poin ini membuat Inggeris mengambil jalan pintas untuk menghentikan narasi besarnya, yaitu assassination.
Hasan al-Banna mati muda, di usia 42 tahun dan masih banyak pekerjaan pemikiran yang belum terselesaikan. IM tidak mewariskan fiqh politik atau fiqh daulah yang dihasilkan dari pengalaman empirik seperti koalisi, power sharing, parliamentary budgeting, dan seabreg persoalan politik yang memerlukan pandangan resmi IM yang diekstrak menjadi prinsip politik IM.
Tahun 1949 di tahun wafatnya, IM mempunyai basis sosial yang kuat tapi mereka belum mempunyai pengalaman politik real di pemerintahan. Kondisi mereka tidak lebih baik sepeninggal sang muassis (pendiri). Bahkan berada dalam kondisi yang paling mengerikan di era mantan kadernya yang berkhianat dan menjadi presiden yang menindas mereka: Gamal abdul Naser.
Berkah terpenting dari narasi yang dibawa Hasal al-Banna adalah bangkitnya gerakan Islam di seluruh dunia, di timur tengah, Asia dan Afrika, bahkan di antara komunitas-komunitas minoritas muslim di negeri-negeri barat. Ide genuine al-Banna dalam MR (majmu’atur rasail) menjadi inspirasi berbagai negeri, baik yang membentuk dirinya sebagai struktur atau sekedar terinspirasi dari gagasannya.
Pemikir besar kedua IM adalah Sayid Quthb (1966) yang melawan dalam sunyi, menulis di balik jeruji. Semangat perlawanan terhadap tirani menjadi ruh yang menguatkan tulang punggung para aktivis Islam di masa-masa sulit penuh penindasan. Namun di kemudian hari, gagasan-gagasan Sayid Quthb yang beraroma ‘shira’ bainal haq wal bathil’ (pertarungan antara kebenaran dan keburukan) menjadi problematis saat dibaca hari ini dan dicerabut dari konteksnya. Terlebih abad 21 ini. Pembahasan ini akan dikaji kemudian.
Relatif tidak ada lagi pemikir besar IM dalam beberapa decade selain dari para pensyarah (penjelas gagasan), pengembang, penulis ulang, pengorganisir ide. Bahkan ratusan buku Dr. Yusuf al-Qharadhawi, salah satu ulama paling produktif zaman ini, tidak keluar dari frame gagasan-gagasan al-Banna. Walau begitu warisan intelektual kontemporer ulama-ulama IM mengisi perpustakaan umat Islam seluruh dunia hari ini. (sumber: elvandi.com/bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar