JAKARTA, ASPEKTI- Pria kelahiran 2 Desember 1988 ini berasal dari keluarga businessman dan meraih gelar M.Sc di Kingston University, Inggris. Namun dia merupakan sosok yang humble dan mandiri. Kiprahnya di bisnis pasir kuarsa membuatnya masuk jajaran salah satu usahawan muda sukses di Indonesia.
"Sejak kecil saya memang dididik dengan keras karena opa saya dulu ikut KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische Leger) dan mendidik anak-anaknya juga dengan keras, seperti militer," ujar Ryan Maneka Hinze, usahawan muda tersebut, kepada Aspekti di Jakarta, Kamis (13/4/2017).
Menurutnya, didikan itulah yang membentuk karakternya menjadi pribadi yang tak hanya mandiri, namun tak pernah gentar dalam menghadapi apa pun.
Didikan agama yang kuat juga mewarnai karakternya, sehingga jika ia mendapat masalah, yang pertama ia lakukan adalah berdoa kepada Allah SWT agar diberi petunjuk. Jika apa yang ia lakukan tak juga kunjung berhasil, ia akan berdiskusi dengan orang yang lebih tua yang ia yakini dapat memberikan saran atau bahkan solusi.
"Saya sebenarnya memang termasuk orang yang keras kepala, namun dalam artian yang positif, karena bagi saya, jika kita menginginkan sesuatu, kejar dulu. Soal berhasil atau tidak, kan tergantung dari bagaimana strategi kita untuk mencapainya," kata dia.
Ryan merupakan sosok yang lahir di tengah-tengah keluarga multi kultural, karena ayahnya berdarah Ambon-Belanda, sementara ibunya kelahiran Semarang, Jawa Tengah. Karena hidup di tengah-tengah komunitas seperti ini, pria berkulit putih dan berkacamata ini mengakui, ia menjadi sangat menghargai perbedaan, termasuk perbedaan etnis.
"Saya bahkan berprinsip dimana pun saya berada, saya tak hanya berarti dan bermanfaat bagi diri saya dan keluarga saya, tapi juga bagi orang lain, dan saya selalu berpikir bahwa hidup harus ada take and give, menabur, menuai, dan harus dapat memberikan yang lebih kepada orang lain karena menolong orang tidak membuat kita menjadi miskin. Banyak contohnya untuk hal ini," katanya.
Karir bisnis Ryan dimulai dari bisnis keluarga yang menggeluti bidang printing dan agrikultural yang memasok spanduk, pamflet, dus dan lain-lain ke sejumlah perusahaan multinasional seperti BASF dan Mosanto. Usaha dengan bendera PT Dwi Romeo Perkasa ini sempat kolaps pada 1998, sehingga untuk dapat bangkit lagi, usaha dikembangkan ke bidang konveksi, khususnya konveksi batik, dan hingga kini perusahaan itu masih eksis.
Ryan mulai cawe-cawe di perusahaan itu setelah meraih S1 bidang bisnis manajemen dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Jakarta, pada 2011, namun hanya sekitar enam bulan karena kemudian ia terbang ke Kingston University, Inggris, untuk mendalami bidang ritel manajemen.
"Saya 1,5 tahun di sana, dan mandapat gelar master of science. Saya lalu magang di London, dan pada 2013 kembali ke Tanah Air karena di Inggris sedang didera isu PIGS yang diakibatkan oleh bangkrutnya Yunani yang diyakini akan mengimbas ke negara-negara Eropa yang lain," katanya.
Isu itu, lanjut dia, membuat Negara Ratu Elizabeth tersebut melakukan pengetatan tenaga kerja, dimana tenaga lokal diprioritaskan, disusul tenaga kerja asal Eropa, dan terakhir tenaga kerja asal Asia dan Afrika.
Ryan pulang dua bulan sebelum visa-nya habis, dan kembali masuk ke bisnis keluarga dengan jabatan direktur marketing.
Tak puas hanya dalam "bayang-bayang kesuksesan usaha keluarga", pada 2015 Ryan dan dua rekannya mencoba membuka peluang bisnis sendiri di bidang trading, dan mendirikan PT Samara Kuarsa Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran pasir silika.
"Kami pilih tambang jenis ini karena kami nilai lebih prospektif karena pemainnya belum terlalu banyak. Beda dengan pasar bangunan yang pemainnya sudah bejibun," katanya.
Pasir kuarsa merupakan bahan galian yang terdiri atas kristal-kristal silika (SiO2) dan mengandung senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Hasil tambang yang juga dikenal dengan nama pasir putih itu merupakan bahan pembuat beton cor, keramik dan kaca.
Ryan mengakui, saat ini perusahaannya menjadi mitra sejumlah BUMN, khususnya yang bergerak di bidang konstruksi dan infrastruktur seperti Waskita Karya dan Adhi Karya. Lahan tambangnya berada di Bangka Timur, sementara pabrik pengolahannya berada di Cilegon, Banten.
"Dari hasil analisa terakhir pada Oktober 2016, kandungan pasir silika di lahan tambang kami masih sebanyak 10 juta kubik," katanya.
Ryan mengakui kalau saat ini ia masih memiliki sejumlah ambisi, karena ia masih selalu berpikir apa yang masih dapat ia lakukan untuk dapat berguna bagi orang lain. (man)
0 komentar:
Posting Komentar