Asosiasi Perusahaan dan Konsultan Telematika Indonesia

Memuat...

Sabtu, 08 April 2017

Narasi Global Umat – Part 6

Eropa: Krisis Identitas dan Kepanikan Ekonomi

JAKARTA, ASPEKTI- Saya mengkhususnya pembahasan Eropa, karena ia sedang membuka peluang dakwah yang jauh lebih besar bagi para da’i dibandingkan kawasan lain seperti US.

Eropa sebetulnya belum lama bangkit dari kehancuran berkepingnya pasca Perang Dunia ke-2. Tapi salah satu kedahsyatan yang saat itu perlu menginspirasi gerakan Islam seluruh dunia adalah narasi besar persatuan eropa. Ia dimulai tahun 1951 dengan Coal and Steel Community antara Jerman, Perancis, Italia, Luxemburg, Belanda dan Belgia. Dan lihatlah tahun 1992, paguyuban bisnis itu bertransformasi dengan cepat menjadi aliansi kepentingan ekonomi-politik dalam European Union melalui perjanjian Maastricht.

Sistem yang berlaku di negara-negara eropa disebut dengan “welfare state” atau negara kesejahteraan. Pertama-tama diperkenalkan oleh negarawan Jerman Otto Von Bismarck yang menjadi kanselir pertamanya. Secara sederhana welfare state artinya negara menjamin kesejahteraan masyarakat di hampir seluruh sisi kehidupan. Konsep normatif welfare state dalam literature Islam ada dalam konsep baitul mal, yang di zaman Umar menjadi lumbung pengumpulan uang dari zakat untuk didistribusikan kepada kesehatan, pendidikan masyarakat, dll.

Terlepas dari klaim bahwa Otto von Bismarcht terinspirasi dari sejarah negeri-negeri Muslim di Afrika Utara dan Ustmaniyyah, yang penting welfare state adalah sebuah sistem distribusi sosial yang sejalan dengan esensi zakat yaitu “tu’khadzu min aghniyaaihim wa turadduuna ila fuqaraaihim” (diambil dari orang-orang kaya dan didistribusikan ke kalangan miskinnya).

Mekanisme welfare state Eropa adalah pemasukan yang sangat besar dari pajak. Lalu pendistribusiannya mengalir pada pendidikan yang gratis atau super murah, fasilitas kesehatan gratis, subsidi properti dan kebutuhan rumah tangga, jaminan masa tua, dll. Misalnya, jika seorang Jerman dipecat, maka ia akan mendapat subsidi penghasilan senilai 60% dari gaji terakhirnya selama 12-36 bulan. Di Denmark lebih tinggi lagi, sampai 90%.

Di sistem continental seperti Jerman, pemasukan negara dari pajak sekitar 45 %, sedang di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia lebih tinggi lagi hingga mencapai 50%. Semakin tinggi tingkat pajak semakin mengalir deras subsidi pemerintah bagi masyarakat.

Sistem welfare state adalah sistem mapan yang jarang sekali politisi di Eropa yang mencoba menurunkannya. Membawa kampanye penurunan kesejahteraan sama dengan bunuh diri politik. Itu artinya welfare state adalah harga mati yang ongkosnya makin lama makin mahal. Pengeluaran semakin tinggi, sedang pemasukan belum tentu mengejar angka pengeluaran itu.

JEBAKAN WELFARE STATE DAN AKHLAK

Ada banyak faktor yang membuat Eropa merosot hari ini. Futuris seperti John Naisbit mengatakan setidaknya ada lima faktor. Yaitu pertama, beban pajak yang terlalu besar, pertumbuhan produktivitas yang lambat, undang-undang tenaga kerja yang ketat, penguasaan pasar yang terus merosot dan meningkatnya proteksionesmu, juga inovasi yang rendah senilai 1,9% dari APBN nya yang jauh dibawah US 2,6%.

Tapi ada satu faktor lain yang signifikan, dan sering absen dalam analisis para ilmuwan sosial Eropa. Yaitu akhlak. Umumnya tema akhlak tidak akan pernah masuk dalam diskursus ilmiah, bahkan jika kita sedang membahas krisis demografi-pun rekan-rekan akademia akan menghindari akhlak dan spiritualitas. Saya akan mengurainya.

Welfare state sangat mengandalkan sektor pajak, sehingga penurunan sumber-sumber pajak artinya penurunan modal untuk pembiayaan welfare state. Usia kerja produktif Eropa adalah 20-64 tahun. Eurostat’s demographic projections melaporkan bahwa angka ini akan terus merosot 0.4% setiap tahun mulai dari 2010 hingga 2040. Analisis European Commission menyimpulkan, kemerosotan pasti menahun ini akan terus mereduksi produktivitas perekonomian Eropa.

Artinya semakin sedikit generasi muda yang berada di usia produktif sedang jumlah generasi tua akan semakin menumpuk. Generasi muda produktif yang semakin berkurang juga artinya pengurangan jumlah pendapatan pajak dan generasi tua yang bertambah, artinya penambahan beban tanggunan negara untuk masa pensiun dan tunjangan kesehatan dan masa tua.

Para pemimpin, juga pemikir Eropa panik membaca fenomena ini. Fertility rate perempuan Eropa atau angka pertumbuhan penduduk Eropa di 27 negara hanya 1,59. Artinya satu pasangan keluarga, suami-isteri hanya mempunyai satu anak. Sedangkan angka minimal untuk kelangsungan generasi adalah 2. Seperti Indonesia yang mencapai angka 2.5 di tahun 2014, cukup bagus, sehingga menghasilkan apa yang sering ditunggu, bonus demografi. Bahkan di tahun 1960, angka pertumbuhan itu mencapai 5.7. Satu perempuan Indonesia, 5-6 anak.

Pertumbuhan populasi Eropa dalam satu generasi (25 – 30 tahunan) akan setengahnya dari orang tua mereka, dari dari jumlah tersebut, di 25-30 berikutnya akan tinggal seperempatnya dibanding kakek-nenek mereka. Hal inilah yang menyebabkan krisis demografi di Eropa.

Lalu, apa respon pemerintah? Umumnya solusi atas krisis ini dihadapi dengan solusi struktural yaitu pemberian insentif bagi setiap pasangan keluarga yang memproduksi anak. Di Perancis, setiap anak yang lahir mendapatkan tunjangan sekitar 180 € atau 2.5 juta rupiah tiap bulan selama 3 tahun. Jika di tahun ketiga mempunyai anak kedua, maka kedua anak tersebut mendapat tunjangan yang sama masing-masing sebanyak 180 € untuk tiga tahun berikutnya, begitupun untuk anak ketiga dan keempat. Sehingga mempunyai anak banyak adalah cara terbaik bagi para imigran untuk mencicil rumah.

Di Denmark, pemerintahnya mengeluarkan solusi yang lebih menunjukan keputusasaan, yaitu program ‘do it for Denmark’ dengan tagline “can sex save Denmark’s future?”. Negara memotivasi secara masif hubungan sex antar warganya untuk menghasilkan anak. Para pasangan akan dipilih untuk berliburan ke kota-kota paling romantik di dunia untuk memproduksi anak.

Setiap negara mempunyai kebijakan insentif yang berbeda untuk memotivasi pertumbuhan anak. Tapi saya melihat para analis Eropa gagal melihat akar masalahnya.

Pengalaman saya berinteraksi dengan masyarakat Eropa selama 4 tahun di Saint Etienne, Paris, Berlin dan Manchester membuat saya sadar akan masalah akhlak yang menjadi faktor krisis demografi.

Krisis pertumbuhan penduduk Eropa bukanlah masalah struktural tapi masalah budaya mendasar, atau way of life. Konsep seks bagi mereka adalah sex for pleasure, untuk kesenangan bukan seks produktif, seks untuk keturunan. Konsep seks mereka hari ini tidak dibungkus oleh institusi pernikahan. Maka pernikahan bukanlah syarat yang mereka butuhkan untuk mendapatkan seks, tidak seperti di timur tengah ataupun Indonesia.

Keluarga adalah mitsaq ghalizha atau ikatan yang kokoh, menurut al-Qur’an. Maka keluarga berarti sederet komitmen yaitu: komitmen untuk bertanggung jawab, kesetiaan, loyalitas para pasangan hidup, juga dari sisi seks, berarti loyalitas dengan partner seks seumur hidup, masih suka ataupun tidak. Puncak dari rasa komitmen seorang lelaki dan perempuan dalam pernikahan adalah anak-anak. Karena anak-anak adalah pengikat terkuat hubungan suami isteri selama puluhan tahun untuk konsisten menjalankan komitmen-komitmen diatas.

Inilah nilai-nilai akhak Qur’ani yang sangat mendasar, yang berat dijalankan oleh generasi muda Eropa hari ini. Mereka lebih memilih memelihara seekor anjing dibanding membesarkan anak. Budaya individualis, materialis, sex for pleasure sangat tidak kompatibel dengan akhlak mendasar soal berkeluarga.

Maka generasi muda kelas menengah dengan mentalitas seperti itu, tidak akan terpengaruh oleh solusi-solusi struktural pemerintah untuk memperbanyak anak. Kehidupan materialisme mereka berarti mengumpulkan uang, menikmatinya dengan pasangan, summer holiday lalu kembali menjalani rutinitas karir.

Masyarakat Eropa baru tersadarkan akan kesepian kehidupan modern umumnya di fase pasca kemapanan, 30-40 tahun. Sehingga di usia itulah mereka membina pernikahan ataupun membuat anak.

Tantangan LGBT adalah isu lain yang dihadapi Eropa. Dimulai dari Belanda yang melegalkan pernikahan sejenis, hingga menyebar ke Perancis dan negara-negara lain dan tetap mendapatkan resistensi dari beberapa negara. Dalam kontes ini mungkin argument HAM dan kebebasan yang digunakan dan bersaut-sautan di forum-forum mereka, melawan tradisi Kristen yang menentangnya. Namun apapun hasil yang diputuskan, tampaknya isu demografi, rate fertility dan kelangsungan welfare state seakan absen dalam debat-debat tersebut.

Alangkah benarnya nabi kita, bahwa akhlak adalah salah satu faktor terpenting kebangkitan dan kehancuran sebuah peradaban. (sumber: elvandi.com/bersambung)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Terpopuler

Arsip

Pageview