JAKARTA, ASPEKTI- Penurunan besar-besaran oplah koran cetak mulai dari Washington Post hingga Kompas adalah diantara perubahan trend dunia dari budaya cetak menjadi digital. Dan meledaknya industri perfileman dan video blog adalah penanda zaman visual yang akan menggantikan era literal. Inilah dua trend yang bisa menjadi pertimbangan dalam menyusun narasi dalam aspek budaya.
Hal ini tidak sulit dijelaskan, khususnya bagi penduduk perkotaan. Dibanding buku atau kertas apapun, gadget selalu menempel di saat santai, sibuk, makan, bersama keluarga, bersama sahabat, di restoran, di ruang rapat, bahkan sesaat sebelum tidur.
Semua informasi yang diinginkan manusia dicari melalui gadgetnya atau laptopnya. Seperti itu tabiat digital native yang lahir setelah tahun 1980-an.
Begitupun dunia visual. Kualitas membaca semakin menurun karena tergantikan gambar bergerak. Dahulu sebelum ditemukan tulisan, media komunikasi adalah gambar, seperti yang terlukis di artefak-artefak kuno. Sekarang visual kembali mengambil alih media tulisan. Pepatah ‘satu gambar mewakili seribu kata’ kembali menemukan maknanya.
Media-media sosial sejenis Facebook, Instagram, Path, Twitter sangat mendukung pesan yang dikemas secara visual, baik itu gambar ataupun video.
Jika di tahun 80-an berderet seminar tentang dampak dan pengaruh TV terhadap perilaku, padahal program TV saat itu sangat terbatas dengan kualitas alakadarnya. Maka bisakah kita bayangkan pengaruh konten yang ada di gadget kita masing-masing terhadap perilaku generasi muda yang sejak SD sudah memegang gadget?
Fenomena ini merata di generasi muda seluruh dunia. Apalagi di Indonesia dengan jumlah pengguna internet dan twitter sebagai salah satu yang terbesar.
Hal ini mempengaruhi beberapa hal seperti hilangnya jarak karena semua orang melihat konten yang sama real time. Juga menghilangkan language barrier, karena setiap penyedia konten gambar bisa mengekpresikan pesannya lintas bahasa, dan para pembuat video bisa menyediakan terjemahan dengan bahasa apapun.
Maka lihatlah industri Holliwood yang masif memproduksi budaya populer. Pesan film-film global tersebar hingga ke bioskop-bioskop di kota kecil Indonesia, atau streaming di computer masing-masing di rumah. Inilah industri budaya terbesar abad ini, yaitu film.
Industri budaya terbesar kedua adalah video blog dan media sosial. Video adalah konten sedang media sosial adalah kendaraan. Mereka adalah dua hal yang secara signifikan terpisah, yang sering tercampur bagi para aktivis dakwah.
Beberapa strategi pemilu, atau kebijakan dakwah begitu mencurahkan energi pada penguasaan media sosial, padahal ia adalah sarana yang tidak akan efektif jika kita tidak mempuyai konten yang memadai.
Ideologi-ideologi besar seperti kapitalisme dan komunisme sangat memahami pertarungan budaya ini. Maka lihatlah usaha mereka membanjiri dunia maya dengan presentasi gagasan mereka. Jika kita membuka youtube dan menulis di search engine nya “understanding capitalism”, maka akan kita dapati berbagai versi video penjelasan tentang ideologi kapitalisme dengan kualitas video yang professional. Ada versi mahasiswa untuk bahan kuliah, ada versi populer untuk masyarakat, ada versi anak-anak untuk indoktrnasi.
Maka inilah tantangan dakwah Islam di era digital. Pekerjaan kita sungguh banyak untuk mengemas pesan Islam menjadi video-video animasi professional sekelas film-film Disney untuk anak-anak seluruh dunia. Juga mengemas sejarah peradaban Islam menjadi film-film kolosal sekelas Lord of The Rings. Atau memproduksi puluhan ribu video untuk mempresentasikan berbagai sisi nilai Islam, ayat Qur’an, hadist-hadist dalam durasi 3-5 menit yang penuh ilustrasi menarik.
Umat Islam tidak kekurangan dana untuk proyek besar seperti ini, juga tidak kekurangan tenaga profesonal para pakar IT, animator, editor atau desain grafis. Tapi yang kurang adalah gagasan besar untuk menjadikan proyek produksi budaya popular ini menjadi narasi besar. (sumber: elvandi.com/bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar